Wajah Literasi Negeriku
Wajah Literasi Negeriku
Oleh. Syamsu Ndau
(Pemuda Istana)
(Pemuda Istana)
Dalam
bayang-bayang di negeriku satu –satunya yang saya saksikan adalah tawa anak
pesisir yang meramaikan suasana, kontras dengan rambut mereka yang hitam
kemerah-merahan dan gigi putih kemilau. Sebagian anak-anak berseragam celana
atau rok berwarna dengan wajah serius menuju sekolah. Sebagian pula anak-anak
lain putus sekolah dengan sibuk bekerja dengan kekuatan yang mereka miliki
dengan wajah serius terlihat sangat professional dan begitu elaborasi.
Seperti kita ketahui sudah menjadi
salahsatu ciri manusia jika seseorang selalu berjuang untuk memperbaiki nasib,
baik secara ekonomik maupun sosial, Gambaran diatas merupakan fenomena sosial
dimana sebagian anak-anak putus sekolah dan bekerja dengan alasan ekonomi. Dalam
system sosial keinginan seorang anak untuk memperbaiki status ekonomik seperti
apa yang disebut oleh Rahardjo dalam bukunya sosiologi pedesaan, “itu terlekat
apa yang disebut hasrat sosial” akibatnya tuna aksara menjadi bertambah.
Keberaksaraan (Literacy) merupakan
kunci harapan suatu negeri untuk menyambut serta menjalankan
modernisasi,desentralisasi ilmu pengetahuan, perbaikan taraf hidup, terutama
pemerataan ekonomi demi kemajuan suatu bangsa.
Literasi dalam kamus ilmiah disebut
sebagai kesanggupan membaca dan menulis, tak sampai disitu saja untuk memahami
literasi, tetapi bagaimana melihat proses literasi dalam negeri kita seperti
budaya baca dan minat baca, budaya baca mengenai kondisi baca yang sudah
melekat dalam aktivitas kehidupan. Dengan itu pentingnya membentuk masyrakat
pembelajar (Learner Society) yang
dilahirkan dari masyarakat pembaca (Reader
Society) sebagai solusi terbaik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
disamping itu bagaimanakah pemegang kekuasaan politik kita (Partai), birokrasi
(Pemerintah) dan budaya (Masyarakat) apakah literasi menjadi prioritas utama
untuk pembangunan ke arah perbaikan dan kemajuan?
Desa paleleh adalah masyarakat
multicultural memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi yang bersifat nonkomplementer disamping itu
sifat gotong- royong masih fungsional.
Negeri ini adalah surga kecil dengan sumber daya alam yang melimpah dari
perikanan, pertanian sampai dengan pertambangan. Secara geografis Desa ini
berdasarkan RPJM-Des bahwa bentang wilayah desa bersifat datar dan rata-rata
suhu udara adalah 17-72 0c
dan ketinggian desaku mencapai 0-60 Mdpl (Meter dari permukaan laut) curah
hujanpun mencapai 63% masih termasuk kategori sedang. Dilihat dari sumber daya
alam negeri kita sangat berpotensi bagaimana dengan sumber daya manusia mungkin
saja berbeda paradigma mengenai permasalahan itu.
Membaca
buku penting! Semua orang tahu dan pasti setuju. Oleh sebap itu, menjadi
beralasan mengenalkan buku dan kegiatan membaca pada anak-anak. Dengan
kebiasaan dan kecintaan membaca sejak dini, mereka menjadi lebih muda
mempelajari apapun, termasuk pelajaran disekolah yang berefek pada meningkatnya
prestasi akademik. Agus M. Irkham dalam tulisanya mengenai minat baca anak
Indonesia, mengtakan bahwa “ berdasarkan riset lima tahun progress in
international reading literacy study (PIRLS) yang melibtkan siswa SD, Indonesia
berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia hanya
lebih baik dari Qatar, Kwait, Maroko, dan afrika selatan”. Artinya ini adalah suatu
gambaran atau bentuk wajah negeri kita dalam dunia literasi.
Saya sudah menyebutkan diatas bahwa literasi
merupakan suatu harapan untuk menjalankan dan menyambut modernisasi untuk
memperbaiki taraf hidup demi kemajuan suatu bangsa. Yang menjadi pertanyaan
penting adalah bagaimana dengan negeri kita, bagaimana bentuk wajah literasi di
Negeri kita yakni Desa Paleleh yang kita cintai, berapakah jumlah perpustakaan
masyrakat, bagaimana kondisi perpustakaan di sekolah-sekolah dan bagaimana
minat baca serta budaya baca. Ketika hal itu mengalami gangguan maka sudah menjadi permasalahan dalam negeri
kita dan menjadi tugas bersama untuk melepaskan status quo. Penulis teringat
apa yang disampaikan oleh tokoh besar aktivis pendidikan Paulo Freire bahwa
“apa yang dibangkitkan dalam proses kenal aksara tidak hanya terbatas pada
kemampuan mereka pada bidang itu tetapi juga sekaligus membawa mereka ke proses
kesadaran politik”.
Comments
Post a Comment